Perbandingan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dan Negara Lain

Menguak Tabir Keadilan: Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Dunia

Setiap negara memiliki cara unik dalam menegakkan hukum dan keadilan. Sistem peradilan pidana, sebagai tulang punggung penegakan hukum, dirancang untuk mengadili pelaku kejahatan, melindungi masyarakat, dan memastikan keadilan. Artikel ini akan menyingkap perbedaan mendasar antara sistem peradilan pidana di Indonesia dengan beberapa negara lain, menyoroti filosofi dan praktiknya.

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Warisan Civil Law yang Termodifikasi

Indonesia menganut sistem hukum Civil Law (Kontinental Eropa), warisan Belanda, yang tercermin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ciri utamanya adalah:

  1. Inkuisitorial (Modifikasi): Meskipun ada unsur inkuisitorial di mana penyidik dan penuntut umum aktif mencari kebenaran, proses persidangan diwarnai elemen-elemen adversarial (adu argumen antara jaksa dan pembela).
  2. Hakim Sentris: Peran hakim sangat dominan dalam mencari kebenaran materiil dan memutuskan perkara. Tidak ada sistem juri untuk kasus pidana umum.
  3. Hukum Tertulis: Penegakan hukum sangat bergantung pada kodifikasi undang-undang yang jelas dan rinci.

Perbandingan dengan Negara Lain: Filosofi dan Praktik Berbeda

  1. Filosofi dan Proses Utama (Adversarial vs. Inkuisitorial Murni):

    • Adversarial (misalnya Amerika Serikat, Inggris, Australia): Sistem ini menempatkan jaksa penuntut (prosecution) dan pengacara pembela (defense) sebagai dua pihak yang ‘bersaing’ di hadapan hakim dan/atau juri. Masing-masing menyajikan bukti dan argumen untuk memenangkan kasus. Hakim bertindak sebagai wasit, memastikan proses berjalan sesuai aturan.
    • Inkuisitorial Murni (misalnya Jerman, Prancis): Hakim atau magistrate investigasi memiliki peran yang sangat aktif dalam mengumpulkan bukti dan mencari kebenaran sejak awal, bukan hanya mendengarkan argumen dari dua pihak. Prosesnya lebih kolaboratif dalam mencari fakta.
  2. Peran Juri:

    • Negara Common Law (Adversarial): Juri (terdiri dari warga negara biasa) bertugas menentukan fakta-fakta dalam kasus (apakah terdakwa bersalah atau tidak), sementara hakim menentukan penerapan hukum dan hukuman.
    • Indonesia dan Sebagian Besar Negara Civil Law: Tidak ada juri; hakim yang tunggal atau majelis hakim yang memutuskan baik fakta maupun hukum.
  3. Penyelidikan dan Pembuktian:

    • Sistem Adversarial: Investigasi dipimpin oleh polisi dan jaksa, dengan pembela juga aktif mencari bukti untuk kliennya. Fokusnya seringkali adalah pada ‘rantai bukti’ yang kuat untuk meyakinkan juri.
    • Indonesia: Penyidikan dipimpin oleh polisi, lalu berkas diserahkan ke jaksa. Pembuktian di persidangan lebih menitikberatkan pada kesaksian dan bukti tertulis yang dikumpulkan penyidik dan jaksa.
  4. Hak Tersangka/Terdakwa:

    • Meskipun hak-hak dasar seperti hak untuk didampingi pengacara dan dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah diakui secara universal, implementasinya bisa bervariasi. Misalnya, konsep ‘plea bargain’ (kesepakatan pengakuan bersalah) sangat umum di AS untuk mempercepat proses, sementara di Indonesia hal ini belum menjadi praktik yang dominan.

Kesimpulan

Tidak ada sistem peradilan pidana yang sempurna. Setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya, serta dibentuk oleh sejarah, budaya, dan filosofi hukum negaranya. Indonesia, dengan corak Civil Law yang termodifikasi, terus berupaya mencari keseimbangan antara penegakan hukum yang tegas dan perlindungan hak asasi manusia. Memahami perbedaan ini penting untuk mengapresiasi kompleksitas pencarian keadilan di berbagai belahan dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *