Dana Desa: Antara Asa Pembangunan dan Jebakan Korupsi
Sejak digulirkannya program dana desa, harapan akan pemerataan pembangunan dan kemandirian ekonomi di pelosok negeri membumbung tinggi. Miliaran rupiah setiap tahun mengalir langsung ke desa, memberikan potensi luar biasa untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, hingga peningkatan kualitas hidup. Namun, di balik asa besar itu, tersimpan pula ancaman serius: korupsi anggaran desa.
Korupsi dana desa bukan lagi isapan jempol, melainkan kenyataan pahit yang seringkali terungkap. Modusnya beragam, mulai dari proyek fiktif yang hanya ada di atas kertas, penggelembungan harga (mark-up) barang dan jasa, penyelewengan dana untuk kepentingan pribadi kepala desa atau perangkatnya, hingga nepotisme dalam penunjukan pelaksana proyek. Akar masalahnya seringkali pada lemahnya pengawasan internal dan eksternal, minimnya transparansi informasi kepada masyarakat, serta kapasitas sumber daya manusia di tingkat desa yang belum memadai dalam mengelola anggaran besar.
Dampak korupsi ini sangat merusak. Pembangunan yang seharusnya terwujud menjadi mandek, fasilitas publik terbengkalai, dan program kesejahteraan masyarakat hanya menjadi janji kosong. Akibatnya, warga desa yang seharusnya menikmati manfaat dana tersebut justru terpuruk dalam kemiskinan, kepercayaan terhadap pemimpin desa terkikis habis, dan potensi konflik sosial pun membayangi.
Melawan korupsi anggaran desa adalah tugas kolektif. Kuncinya terletak pada peningkatan transparansi total dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan penggunaan dana. Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan, mulai dari musyawarah desa hingga pelaporan penyimpangan, adalah benteng utama. Diperlukan pula penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu, serta peningkatan kapasitas dan integritas aparatur desa. Hanya dengan sinergi kuat antara pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum, dana desa dapat benar-benar menjadi berkah pembangunan, bukan jebakan bagi para koruptor.
