Penghinaan di media sosial

Jejak Digital Penuh Luka: Menguak Fenomena Hinaan di Media Sosial

Di era konektivitas tanpa batas ini, media sosial telah menjelma menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mendekatkan yang jauh dan membuka gerbang informasi. Namun di sisi lain, ia juga menjadi arena bagi "jempol beracun" yang melontarkan hinaan, ujaran kebencian, dan fitnah tanpa filter. Fenomena penghinaan di media sosial, dari body shaming, rasisme, hingga pencemaran nama baik, kini bukan lagi hal asing.

Dampak bagi korban sangat nyata dan mendalam. Hinaan yang tersebar cepat di dunia maya dapat memicu stres, depresi, kecemasan, bahkan hilangnya kepercayaan diri. Reputasi seseorang bisa hancur dalam sekejap, dan tak jarang berujung pada isolasi sosial hingga ancaman hukum. Luka maya yang tercipta seringkali meninggalkan bekas yang lebih dalam dari luka fisik, karena menyangkut martabat dan kesehatan mental.

Mengapa hal ini terjadi? Anonimitas sering kali memberi keberanian palsu untuk berkata kasar. Kurangnya empati, reaktivitas berlebihan terhadap opini yang berbeda, atau bahkan sekadar keinginan untuk menarik perhatian, menjadi pemicu utama. Banyak pelaku tidak menyadari konsekuensi jangka panjang dari ketikan jari mereka, baik bagi korban maupun diri sendiri.

Maka, sudah saatnya kita menyadari bahwa setiap interaksi digital memiliki bobot dan tanggung jawab. Media sosial seharusnya menjadi ruang inspirasi dan kolaborasi, bukan arena untuk saling melukai. Mari bijak dalam berselancar, saring informasi sebelum berbagi, dan tanamkan empati dalam setiap komentar. Ciptakan jejak digital yang positif, bukan kumpulan luka.

Exit mobile version