Politik Kekuasaan: Inti Nalar atau Nafsu?
Dalam setiap sendi kehidupan bernegara, ada satu elemen yang tak terpisahkan: kekuasaan. Ia bukan sekadar posisi, melainkan kemampuan untuk memengaruhi, mengendalikan, dan menentukan arah suatu kolektivitas. Politik kekuasaan adalah tentang dinamika perebutan dan pemeliharaan kemampuan ini.
Hakikatnya, kekuasaan adalah alat; netral di tangan, namun definisinya terbentuk oleh niat sang pengguna. Para aktor politik – partai, individu, kelompok kepentingan – bergerak dalam arena ini, menggunakan segala sumber daya dan pengaruh, baik melalui jalur legitimasi demokrasi (pemilu) maupun manuver di balik layar, untuk mencapai atau mempertahankan puncak kendali. Ambisi pribadi seringkali dibungkus dengan narasi idealisme, janji perubahan, atau visi kemajuan.
Namun, kekuasaan adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah prasyarat bagi terciptanya ketertiban, stabilitas, dan implementasi kebijakan yang menyejahterakan rakyat. Tanpanya, anarki mungkin merajalela. Ia memungkinkan pembangunan, penegakan hukum, dan pelayanan publik.
Di sisi lain, kekuasaan memiliki daya tarik yang koruptif. Ia dapat membangkitkan nafsu tirani, membuka celah untuk penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan penindasan kebebasan. Sejarah dipenuhi contoh-contoh bagaimana kekuasaan yang tak terkontrol melahirkan rezim otoriter dan kehancuran.
Maka, politik kekuasaan bukan hanya tentang siapa yang memegang kendali, melainkan bagaimana kendali itu digunakan. Tantangan abadi terletak pada memastikan bahwa kekuasaan tetap berakar pada nalar dan tanggung jawab kolektif, bukan pada nafsu personal yang membutakan. Kualitas sebuah peradaban seringkali diukur dari bagaimana ia mengelola dan mengawasi kekuatan yang dimilikinya.